Proses konstruktif yang mewarnai
persepsi interpersonal sangat banyak melibatkan unsur-unsur motivasi. Upaya
untuk mendeteksi pengaruh motivasi sosial terhadap persepsi telah menjadi tanda
aliran “New Look” pada tahun 1950-an. Allport (1955) telah menghimpun berbagai
penelitian “New Look” dan mengkritiknya. Diantara motivasi yang pernah diteliti
antara lain motif biologis, ganjaran dan hukuman, karakteristik kepribadian dan
perasaan terancam karena persona stimuli.
Yang
terakhir ini disebut perceptual defence (pembelaan perseptual). Bila
anda dihadapkan kepada stimuli yang mengancam anda, anda akan bereaksi begitu
rupa sehingga mungkin tidak akan menyadari bahwa stimuli itu ada. Di sini
berlaku dalil komunikasi: anda hanya mendengar apa yang mau anda dengar, dan
anda tidak akan mendengar apa yang tidak ingin anda dengar.
Motif
personal lainnya yang mempengaruhi persepsi interpersonal adalah kebutuhan
untuk mempercayai dunia yang adil (need to belive in a just world, Lerner,
1965, 1970, 1971, 1974, 1975). Menurut Melvin Lerner, kit aperlu mempercayai
bahwa dunia ini diatur secara adil, setiap orang memperoleh apa yang layak
diperolehnya. Orang diganjar dan dihukum karena perbuatannya. Bila kita melihat
orang sukses, kita cenderung menanggapinya sebagai orang yang memiliki
karakteristik baik. Kepada orang yang gagal, kita limpahkan segala dosa. Orang
yang celaka kita salahkan karena tidak hati-hati; orang miskin karena malas dan
tidak berjiwa wiraswasta. Jelas motif dunia adil ini sering mendistorsi
persepsi kita.
Memang sudah
menjadi kodratnya bahwa manusia dan lingkungannya tidak dapat terpisahakan dan
saling mempengaruhi satu sama lain. Manusia membutuhkan lingkungan yang dapat
menunjung segala aktivitasnya. Lingkungan yang dimaksud tidak hanya sebatas
lingkungan fisik saja seperti pepohonan, laut, gunung, tanah, dan lain-lain
akan tetapi lingkungan sosial pun memiliki peran vital terhadap manusia. Begitu
juga pada kaum pekerja, lingkungan di mana ia bekerja dapat mempengaruhi
berbagai hal termasuk motivasi pekerja itu sendiri.
Menurut Alex
S, Nitisenito (1992: 109) mengemukakan bahwa: faktor yang dimasukkan dalam
lingkungan kerja adalah sangat luas sehingga sulit untuk disebutkan seluruhnya
faktor-faktor tersebut antara lain: kebersihan, pertukaran udara, pencahayaan,
musik, keamanan, keamanan dan kebisingan. Faktor-faktor tersebut berpengaruh
terhadap kinerja pekerja yang berdampak pada motivasi pekerja. Motivasi
bukanlah merupakan se suatu yang berdiri sendiri, melainkan ada beberapa faktor
yang mempenagruhinya.
Menurut Arep
( 2003; 51 ) ada sembilan faktor motivasi, yang dari ke sembilan tersebut dapat
dirangkum dalam enam faktor secara garis besar, yaitu: kebutuhan ekonomis,
kebutuhan psikologis (rasa aman), kebutuhan sosial, kompensasi, komunikasi,
kepemimpinan. Faktor-faktor tersebut saling berkaitan dengan keadaan lingkungan
kerja, dimana keadaan nyata di lingkungan kerja berpengaruh langsung terhada
motivasi, hal ini dapat terjadi karena sebenarnya manusia menilai apakah
lingkungan kerja dapat memberikan berbagai macam kebutuhan baik secara fisik
maupun non-fisik guna untuk pemenuhan kebutuhan selama bekerja. Ketika
lingkungan kerja dapat menunjang hal-hal tersebut, maka motivasi pekerja akan
menigkat dan berpengaruh pada meningkatnya prestasi yang berindikasi pada
kinerja perusahaan itu sendiri.
Pemilik perusahaan harus memperhatikan lingkungan kerja bagi para pekerjanya
agar dapat memaksimalkan ,kemampuannya untuk memberikan yang terbaik bagi
perusahaan. Akan tetapi hal-hal seperti ini sepertinya belum bisa dirasakan
oleh rekan-rekan dari kaum buruh yang mana perusahaan hanya memusatkan
perhatiannya pada profit dan sedikit mengalihkan pandangan pada pekerjanya.
Acap kali kita mendengar buruh yang bekerja melewati batas maksimal jam kerja
perhari, bahkan ada yang lebih dari 12 jam bekerja dalam keadaan berdiri.
Hal-hal seperti inilah yang merugikan buruh dan dapat menyebabkan turunnya
motivasi kerja mereka. Akan tetapi terdapat suatu ganjalan yang membuat kaum
buruh tidak dapat berbuat banyak dalam hal ini karena faktor kebutuhan
ekonomis. Dimana apabila mereka tidak melakukan pekerjaan yang sebenarnya
lingkungannya tidak mendukung kebutuhan selama ia bekerja, maka ia tidak akan
mendapatkan bayaran atau bahkan terancam kehilangan pekerjaannya, sedangkan
untuk mencari pekerjaan lain cukup sulit.
Perusahaan
sering terlihat memperlakukan buruh seperti mesin-mesin uang yang tidak kenal
lelah. Perusahaan merasa hanya memberi gaji saja sudah cukup dan keadaan
lingkungan kerja terabaikan. Ada baiknya pemilik perusahaan memperhatikan
keadaan lingkugan kerja guna menigkatkan motivasi kerja agar perusahaannya
semakin maju baik secara ekonomi maupun sosial di didalamnya.
Baiknya mutu lingkungan kerja dan tingginya motivasi dan kinerja pekerja bukan
berarti menghilangkan masalah pada pekerja, sering kali karena perhatian mereka
terpusat pada pekerjaanya masalah diluar pekerjaan tidak terselesaikan dan
dapat mempengaruhi motivasi dan kinerja. Maka dari itu profesi pekerja sosial
khususnya di ranah industri sebaiknya dilibatkan dalam perusahaan agar pekerja
dapat berfungsi secara baik sosialnya. Ketika perusahaan memperhatikan
kesejahteraan secara ekonomi dengan memberi gaji, maka pekerja sosial
memberikan bantuan yang dapat membantu pekerja menyelesaiakan permasalahan yang
ia alami secara mandiri, yang berarti pekerja sosial memperhatikan
kesejahteraan sosial pekerja.
0 comments:
Post a Comment